Kebanyakan pemain bisnis Cina memang masih mengandalkan harga ketimbang citra merek.
Karena konsumer negara umumnya lebih mempertimbangkan gaya hidup dalam memilih produk (dan jasa) yang akan dibeli, mereka umumnya belum mampu menembus pasar negara maju.
Kendati demikian, ada juga pemain yang cukup berhasil memanfaatkan basis bisnis yang kokoh dan besar di dalam negeri sebagai landasan untuk terbang menyerbu pasar mancanegara.
Di antara para naga industri Cina yang jumlahnya belum banyak itu, Huawei Technologies mungkin yang paling sukses.
Didirikan pada 1988 oleh Ren Zhengfei dengan modal awal tak sampai US$ 4 ribu, dalam tempo kurang dari dua dasawarsa Huawei yang memulai bisnisnya sebagai agen switchboard buatan Hong Kong telah bermetamorfosis jadi perusahaan hi-tech di bidang R&D, produksi dan pemasaran peralatan telekomunikasi yang mampu menawarkan solusi jaringan yang customized walau belum meninggalkan sama sekali jurus harga murah.
“Kami menawarkan produk kami 15%-40% di bawah produk Cisco,” Chief Marketing Officer Xu Zhijun mengakui.
Dengan jurus ini, pada 2008 Huawei mampu memenangi kontrak proyek senilai US$ 23,3 miliar.
Dan, memiliki barisan engineer bagus yang puas dengan gaji sekitar 25% kolega mereka di negara maju, kampiun industri peralatan telekomunikasi Cina ini bisa dipastikan meraup laba yang cukup tinggi.
Buktinya, pada 2009 Huawei mampu mempertahankan posisinya sebagai perusahaan yang paling banyak mendaftarkan paten, hasil upaya R&D orisinal yang mahal itu, yang dicapai pada 2008.
Awalnya, seperti perusahaan lain dari negara berkembang (termasuk Jepang pada 1960-an),
Huawei melakukan reverse engineering — membedah dan mengopi produk perusahaan negara maju.
Pada 1990-an, strategi seperti ini cukup ampuh untuk memenangi kontrak peralatan fixed-line di negara-negara Asia dan Afrika yang tak dilirik para kampiun industri telekom Barat.
Akan tetapi, Ren sang pendiri tampaknya sadar betul bahwa untuk jadi besar Huawei bisa memenangi kontrak yang gemuk dari negara kaya.
Untuk itu, dia harus mampu membawa Huawei melakukan lompatan kuantum ke produk orisinal.
Dan dia beruntung, pada 1990-an terjadi disrupsi besar.
Dengan berkembangnya teknologi baru yang nonkonvensional, seperti optical telecom transmission, dikatakan ujar Duncan Clark, Direktur Pengelola BDA China, sebuah perusahaan riset di Beijing,
“Semua pihak harus start di tempat yang sama.”
Dalam keadaan seperti ini, tak terlalu sulit bagi sebuah perusahaan yang didukung kredit murah oleh pemerintahnya dan memiliki barisan engineer andal yang murah seperti Huawei menggandeng kampiun teknologi dari negara maju untuk dijadikan mitra.
Dalam kemitraan, faktor Huawei terbukti ikut memberikan keandalan, setidaknya dari segi efisiensi biaya. Pada 2003, misalnya, aliansi Huawei-Cisco berhasil mengalahkan setengah lusin nama besar, termasuk Alcatel dan Siemens, dalam tender untuk pembangunan jaringan nirkabel 3G di Emirat Arab.
Mungkin itu sebabnya ketika sang Naga Bisnis bersedia merekayasa ulang produk routers dan switches canggih yang teknologinya begitu mirip dengan teknologi yang dikembangkan Cisco System, jawara industri AS ini legawa menarik tuntutannya pada 2004.
Harus menginstal peralatan buatannya di berbagai negara, sebuah perusahaan telekom harus melakukan kerja sama dengan pemain lain dari seluruh dunia. Sebab itu, mereka mau tak mau juga harus berbagi info dan teknologi. Alhasil, pencurian teknologi menjadi masalah moral. Namun, untuk meraih sukses global, perusahaan telekom harus inovatif sehingga bisa mengikuti aturan main — mengadopsi praktik global dalam segala hal, dari branding dan pemasaran sampai manajemen keuangan dan SDM, untuk tak mengatakan pengembangan teknologi.
Huawei patut diacungi jempol karena mereka mampu menerima tantangan ini dengan cepat. Lepas dari tuntutan, Huawei dengan gesit putar arah dan melaju dengan teknologi milik sendiri. Setelah 2004, persepsi terhadap Naga Bisnis yang satu ini pun dalam waktu singkat berubah 180 derajat. Tak mengherankan, pada 2005 penjualan mereka melejit 47% jadi US$ 8,2 miliar, 60%-nya berasal dari negara-negara maju, termasuk AS, negara-negara Eropa Barat, Singapura, Rusia dan Brasil. Pada 2005 itu, Huawei meraup pendapatan US$ 5,9 miliar dan meningkat 30% jadi US$ 7,8 miliar pada 2006.
Kebangkitan Huawei ditandai pula oleh keberhasilan mereka mengibarkan diri jadi pemasok terbesar digital switches dan next generation network serta pemasok kedua terbesar ADSL broadband dan optical network. Selain itu, mereka juga telah diakui sebagai satu dari sedikit vendor di dunia yang mampu memberikan end-to-end 3G solution. Saat ini, Huawei (dan ZTE, alias Zhongxing Telecom, kampiun industri telekom Cina lainnya) sedang merintis teknologi canggih bernama “remote radio-head” technology.
Dalam mobile-based station, sirkuit radio biasanya ditaruh dalam sebuah kotak yang dihubungkan oleh kabel ke antena di puncak menara. Dengan mengganti kabel ini dengan serat optik dan memindahkan sirkuit radio yang ada ke antena, Huawei dapat mengeliminasi hilangnya power di kabel antena, memangkas konsumsi energi sampai 33% dan memperkecil ukuran peralatan.
Inovasi lain yang dilincurkan Huawei adalah reconfigurable base-stations. Dengan teknologi berbasis peranti lunak ini, base-stations dapat dengan cepat dikonfigurasi ulang untuk mendukung teknologi jaringan bergerak yang berbeda, bahkan beberapa teknologi berbeda sekaligus pada saat yang sama. Kebanyakan operator telepon bergerak saat ini menjalankan jaringan 2G dan 3G secara berdampingan menggunakan peralatan terpisah. Artinya, potensi bisnis mengganti sistem yang rumit dan mahal tersebut dengan sebuah sistem tunggal sangatlah besar.
Kenyataannya, inovasi tersebut telah membawa Huawei menembus pasar Amerika Latin. Dan penetrasi Huawei kian dalam setelah América Móvil, operator telepon bergerak terbesar di Amerika Latin, puas dengan kinerja reconfigurable SingleRAN keluaran Huawei yang dapat memangkas konsumsi power sampai 50% dan volume peralatan yang dibutuhkan sampai 70%.
Menguasai teknologi berstandard LTE, Huawei juga menempati posisi strategis dalam pertarungan teknologi masa depan: 4G. “Koneksi bergerak berbasis LTE pertama di dunia yang dirampungkan Juni 2009 ini,” catat The Economist, “menggunakan peralatan buatan Huawei.”
Jadi, tidaklah berlebihan kalau Edward Zhou berani menepuk dada. “Adalah salah kalau mengatakan kami hanyalah perusahaan berbiaya rendah,” ujar bos pemasaran Huawei untuk kawasan Eropa itu. Naga Bisnis ini sekarang telah memiliki 100 kantor di mancanegara dan pusat riset di Eropa, AS, India, selain di Cina. Pada 2008, pusat riset Huawei di Bangalore, India, saja telah mempekerjakan 1.300 engineer. Belum lagi engineer mereka yang ditempatkan di laboratorium kerja sama, di pusat riset Motorola dan Sun Microsystems.
Upaya lain yang dilakukan Huawei untuk mendapatkan teknologi baru adalah melalui akuisisi. Pada November 2008, misalnya, Naga Bisnis ini melakukan pendekatan untuk mengambil alih Nortel senilai US$ 2,2 miliar. Masih dicurigai terkait dengan militer Cina — Re sang Pendiri adalah mantan perwira Tentara Pembebasan Cina — tawaran mereka ditolak oleh Pemerintah Ottawa. Pada Januari 2009, perusahaan telekom ke-7 terbesar dunia asal Kanada itu bangkrut dan sebagian besar asetnya dilego ke Ericcson, kampiun industri telekom asal Swedia.
Selain itu, upaya pencaplokan 3 Com Corp., kampiun industri Ethernet yang juga menguasai bisnis cybersecurity yang pernah menjadi mitra bisnis Huawei ketika mengalahkan Cisco dengan menawarkan switch yang kinerjanya dua kali lebih cepat dengan harga 25% lebih murah, juga diganjal oleh Pemerintah Washington. Sebelumnya, upaya Huawei mengambil alih Marconi, perusahaan elektronik dan TI Inggris, juga dijegal Pemerintah London. “Walau upaya akuisisinya terus terganjal,” Chen Ming-Jer yakin, “Huawei tak akan berhenti berburu aset mancanegara.” Chem adalah profesor administrasi bisnis pada Darden School of Business, University of Virginia, dan penulis buku Inside Chinese Business: A Guide for Managers Worldwide.
Kalau sampai saat ini nama Huawei tak begitu bunyi bagi telinga awam di luar Cina, itu karena selama ini sang Naga Bisnis lebih banyak menggarap pasar B2B, menjajakan produk (dan jasanya) kepada perusahaan lain. Akibatnya, walau tak lagi dilecehkan sebagai produsen peralatan murah dan telah mampu menembus pasar negara maju, Huawei masih dinilai sebagai raksasa industri generik. Memang, mereka menjajakan produk konsumer seperti pesawat telepon selular (ponsel). Akan tetapi, produk Huawei ini ke tangan konsumen dengan merek perusahaan operator telepon yang memesannya, tak ada sedikit pun identitas Huawei terbaca di produk white label tersebut.
Untuk mengibarkan diri jadi pemain global yang sebenarnya — dikenal luas di seluruh dunia — Huawei bukan hanya melakukan kampanye iklan semacam “We hear you” dan “Go 3G. Go Huawei!” yang ditampilkan di The Economist, Fortune, Forbes, BusinessWeek dan media ekonomi-bisnis beken lainnya. Mereka juga tak cuma membuka kampusnya di Shenzhen, sebuah bangunan ultramodern rancangan Norman Foster, arsitek kondang Inggris, untuk khalayak. Walau tak seagresif ZTE, Huawei juga mulai meluncurkan produk bermereknya ke konsumen.
Seperti produk peralatan telekom dulu, awalnya, Desember 2007, ponsel yang dijajakan Huawei adalah produk low-end. Meski demikian, seperti produk peralatan telekom juga, Naga Bisnis ini bisa dipastikan tak akan berhenti sampai di situ. Untuk itu, mereka tak segan menggandeng kampiun teknologi mancanegara. Pada 10 Desember tahun lalu, misalnya, Huawei mengumumkan akan bekerja sama dengan open handset Alliance yang didukung Google untuk meluncurkan ponsel berbasis Android pada 2009.
Diambil dari http://datacomm.creatingforum.com/t3-sekilas-tentang-sejarah-huawei
Karena konsumer negara umumnya lebih mempertimbangkan gaya hidup dalam memilih produk (dan jasa) yang akan dibeli, mereka umumnya belum mampu menembus pasar negara maju.
Kendati demikian, ada juga pemain yang cukup berhasil memanfaatkan basis bisnis yang kokoh dan besar di dalam negeri sebagai landasan untuk terbang menyerbu pasar mancanegara.
Di antara para naga industri Cina yang jumlahnya belum banyak itu, Huawei Technologies mungkin yang paling sukses.
Didirikan pada 1988 oleh Ren Zhengfei dengan modal awal tak sampai US$ 4 ribu, dalam tempo kurang dari dua dasawarsa Huawei yang memulai bisnisnya sebagai agen switchboard buatan Hong Kong telah bermetamorfosis jadi perusahaan hi-tech di bidang R&D, produksi dan pemasaran peralatan telekomunikasi yang mampu menawarkan solusi jaringan yang customized walau belum meninggalkan sama sekali jurus harga murah.
“Kami menawarkan produk kami 15%-40% di bawah produk Cisco,” Chief Marketing Officer Xu Zhijun mengakui.
Dengan jurus ini, pada 2008 Huawei mampu memenangi kontrak proyek senilai US$ 23,3 miliar.
Dan, memiliki barisan engineer bagus yang puas dengan gaji sekitar 25% kolega mereka di negara maju, kampiun industri peralatan telekomunikasi Cina ini bisa dipastikan meraup laba yang cukup tinggi.
Buktinya, pada 2009 Huawei mampu mempertahankan posisinya sebagai perusahaan yang paling banyak mendaftarkan paten, hasil upaya R&D orisinal yang mahal itu, yang dicapai pada 2008.
Awalnya, seperti perusahaan lain dari negara berkembang (termasuk Jepang pada 1960-an),
Huawei melakukan reverse engineering — membedah dan mengopi produk perusahaan negara maju.
Pada 1990-an, strategi seperti ini cukup ampuh untuk memenangi kontrak peralatan fixed-line di negara-negara Asia dan Afrika yang tak dilirik para kampiun industri telekom Barat.
Akan tetapi, Ren sang pendiri tampaknya sadar betul bahwa untuk jadi besar Huawei bisa memenangi kontrak yang gemuk dari negara kaya.
Untuk itu, dia harus mampu membawa Huawei melakukan lompatan kuantum ke produk orisinal.
Dan dia beruntung, pada 1990-an terjadi disrupsi besar.
Dengan berkembangnya teknologi baru yang nonkonvensional, seperti optical telecom transmission, dikatakan ujar Duncan Clark, Direktur Pengelola BDA China, sebuah perusahaan riset di Beijing,
“Semua pihak harus start di tempat yang sama.”
Dalam keadaan seperti ini, tak terlalu sulit bagi sebuah perusahaan yang didukung kredit murah oleh pemerintahnya dan memiliki barisan engineer andal yang murah seperti Huawei menggandeng kampiun teknologi dari negara maju untuk dijadikan mitra.
Dalam kemitraan, faktor Huawei terbukti ikut memberikan keandalan, setidaknya dari segi efisiensi biaya. Pada 2003, misalnya, aliansi Huawei-Cisco berhasil mengalahkan setengah lusin nama besar, termasuk Alcatel dan Siemens, dalam tender untuk pembangunan jaringan nirkabel 3G di Emirat Arab.
Mungkin itu sebabnya ketika sang Naga Bisnis bersedia merekayasa ulang produk routers dan switches canggih yang teknologinya begitu mirip dengan teknologi yang dikembangkan Cisco System, jawara industri AS ini legawa menarik tuntutannya pada 2004.
Harus menginstal peralatan buatannya di berbagai negara, sebuah perusahaan telekom harus melakukan kerja sama dengan pemain lain dari seluruh dunia. Sebab itu, mereka mau tak mau juga harus berbagi info dan teknologi. Alhasil, pencurian teknologi menjadi masalah moral. Namun, untuk meraih sukses global, perusahaan telekom harus inovatif sehingga bisa mengikuti aturan main — mengadopsi praktik global dalam segala hal, dari branding dan pemasaran sampai manajemen keuangan dan SDM, untuk tak mengatakan pengembangan teknologi.
Huawei patut diacungi jempol karena mereka mampu menerima tantangan ini dengan cepat. Lepas dari tuntutan, Huawei dengan gesit putar arah dan melaju dengan teknologi milik sendiri. Setelah 2004, persepsi terhadap Naga Bisnis yang satu ini pun dalam waktu singkat berubah 180 derajat. Tak mengherankan, pada 2005 penjualan mereka melejit 47% jadi US$ 8,2 miliar, 60%-nya berasal dari negara-negara maju, termasuk AS, negara-negara Eropa Barat, Singapura, Rusia dan Brasil. Pada 2005 itu, Huawei meraup pendapatan US$ 5,9 miliar dan meningkat 30% jadi US$ 7,8 miliar pada 2006.
Kebangkitan Huawei ditandai pula oleh keberhasilan mereka mengibarkan diri jadi pemasok terbesar digital switches dan next generation network serta pemasok kedua terbesar ADSL broadband dan optical network. Selain itu, mereka juga telah diakui sebagai satu dari sedikit vendor di dunia yang mampu memberikan end-to-end 3G solution. Saat ini, Huawei (dan ZTE, alias Zhongxing Telecom, kampiun industri telekom Cina lainnya) sedang merintis teknologi canggih bernama “remote radio-head” technology.
Dalam mobile-based station, sirkuit radio biasanya ditaruh dalam sebuah kotak yang dihubungkan oleh kabel ke antena di puncak menara. Dengan mengganti kabel ini dengan serat optik dan memindahkan sirkuit radio yang ada ke antena, Huawei dapat mengeliminasi hilangnya power di kabel antena, memangkas konsumsi energi sampai 33% dan memperkecil ukuran peralatan.
Inovasi lain yang dilincurkan Huawei adalah reconfigurable base-stations. Dengan teknologi berbasis peranti lunak ini, base-stations dapat dengan cepat dikonfigurasi ulang untuk mendukung teknologi jaringan bergerak yang berbeda, bahkan beberapa teknologi berbeda sekaligus pada saat yang sama. Kebanyakan operator telepon bergerak saat ini menjalankan jaringan 2G dan 3G secara berdampingan menggunakan peralatan terpisah. Artinya, potensi bisnis mengganti sistem yang rumit dan mahal tersebut dengan sebuah sistem tunggal sangatlah besar.
Kenyataannya, inovasi tersebut telah membawa Huawei menembus pasar Amerika Latin. Dan penetrasi Huawei kian dalam setelah América Móvil, operator telepon bergerak terbesar di Amerika Latin, puas dengan kinerja reconfigurable SingleRAN keluaran Huawei yang dapat memangkas konsumsi power sampai 50% dan volume peralatan yang dibutuhkan sampai 70%.
Menguasai teknologi berstandard LTE, Huawei juga menempati posisi strategis dalam pertarungan teknologi masa depan: 4G. “Koneksi bergerak berbasis LTE pertama di dunia yang dirampungkan Juni 2009 ini,” catat The Economist, “menggunakan peralatan buatan Huawei.”
Jadi, tidaklah berlebihan kalau Edward Zhou berani menepuk dada. “Adalah salah kalau mengatakan kami hanyalah perusahaan berbiaya rendah,” ujar bos pemasaran Huawei untuk kawasan Eropa itu. Naga Bisnis ini sekarang telah memiliki 100 kantor di mancanegara dan pusat riset di Eropa, AS, India, selain di Cina. Pada 2008, pusat riset Huawei di Bangalore, India, saja telah mempekerjakan 1.300 engineer. Belum lagi engineer mereka yang ditempatkan di laboratorium kerja sama, di pusat riset Motorola dan Sun Microsystems.
Upaya lain yang dilakukan Huawei untuk mendapatkan teknologi baru adalah melalui akuisisi. Pada November 2008, misalnya, Naga Bisnis ini melakukan pendekatan untuk mengambil alih Nortel senilai US$ 2,2 miliar. Masih dicurigai terkait dengan militer Cina — Re sang Pendiri adalah mantan perwira Tentara Pembebasan Cina — tawaran mereka ditolak oleh Pemerintah Ottawa. Pada Januari 2009, perusahaan telekom ke-7 terbesar dunia asal Kanada itu bangkrut dan sebagian besar asetnya dilego ke Ericcson, kampiun industri telekom asal Swedia.
Selain itu, upaya pencaplokan 3 Com Corp., kampiun industri Ethernet yang juga menguasai bisnis cybersecurity yang pernah menjadi mitra bisnis Huawei ketika mengalahkan Cisco dengan menawarkan switch yang kinerjanya dua kali lebih cepat dengan harga 25% lebih murah, juga diganjal oleh Pemerintah Washington. Sebelumnya, upaya Huawei mengambil alih Marconi, perusahaan elektronik dan TI Inggris, juga dijegal Pemerintah London. “Walau upaya akuisisinya terus terganjal,” Chen Ming-Jer yakin, “Huawei tak akan berhenti berburu aset mancanegara.” Chem adalah profesor administrasi bisnis pada Darden School of Business, University of Virginia, dan penulis buku Inside Chinese Business: A Guide for Managers Worldwide.
Kalau sampai saat ini nama Huawei tak begitu bunyi bagi telinga awam di luar Cina, itu karena selama ini sang Naga Bisnis lebih banyak menggarap pasar B2B, menjajakan produk (dan jasanya) kepada perusahaan lain. Akibatnya, walau tak lagi dilecehkan sebagai produsen peralatan murah dan telah mampu menembus pasar negara maju, Huawei masih dinilai sebagai raksasa industri generik. Memang, mereka menjajakan produk konsumer seperti pesawat telepon selular (ponsel). Akan tetapi, produk Huawei ini ke tangan konsumen dengan merek perusahaan operator telepon yang memesannya, tak ada sedikit pun identitas Huawei terbaca di produk white label tersebut.
Untuk mengibarkan diri jadi pemain global yang sebenarnya — dikenal luas di seluruh dunia — Huawei bukan hanya melakukan kampanye iklan semacam “We hear you” dan “Go 3G. Go Huawei!” yang ditampilkan di The Economist, Fortune, Forbes, BusinessWeek dan media ekonomi-bisnis beken lainnya. Mereka juga tak cuma membuka kampusnya di Shenzhen, sebuah bangunan ultramodern rancangan Norman Foster, arsitek kondang Inggris, untuk khalayak. Walau tak seagresif ZTE, Huawei juga mulai meluncurkan produk bermereknya ke konsumen.
Seperti produk peralatan telekom dulu, awalnya, Desember 2007, ponsel yang dijajakan Huawei adalah produk low-end. Meski demikian, seperti produk peralatan telekom juga, Naga Bisnis ini bisa dipastikan tak akan berhenti sampai di situ. Untuk itu, mereka tak segan menggandeng kampiun teknologi mancanegara. Pada 10 Desember tahun lalu, misalnya, Huawei mengumumkan akan bekerja sama dengan open handset Alliance yang didukung Google untuk meluncurkan ponsel berbasis Android pada 2009.
Diambil dari http://datacomm.creatingforum.com/t3-sekilas-tentang-sejarah-huawei